Showing posts with label RELIGI. Show all posts
Showing posts with label RELIGI. Show all posts

Jawaban Pak Kiai Buat kita Terkejut, Katanya Mendoakan orang mati itu Haram ? Ternyata Begini Penjelasannya !


Kiai Durrahman yang baru saja pulang dari ziarah kubur. Kedatangan seorang pemuda lulusan sebuah kampus di Madinah yang hendak bertanya.

Dengan gaya mengetes, si pemuda bertanya, “Pak Kiai, apa hukum mendoakan orang mati?”

“Haram!”

Si pemuda kaget. Jawaban Kiai Durrahman di luar dugaan. “Alasannya, Kiai?”

“Islam mengajarkan, mendoakan orang harus yang baik-baik. Harusnya kita mendoakan orang banyak rezeki, sehat, atau panjang umur. Jangan sampai kita mendoakan orang mati, itu doa buruk.”

Pemuda itu pun izin pulang dengan wajah melongo sambil sumringah !!!

Sumber : http://www.nu.or.id

Seseorang Di Kerumuni Warga Karena Adzan Tengah Malam, Ternyata Yang Adzan... Sungguh Membuat Terharu !!!




Suasana sebuah kampung tiba-tiba heboh, karena pada saat jam 22.00 terdengar adzan berkumandang dari sebuah mushalla setempat melalui pengeras suara yang memecah keheningan malam.

Warga berbondong-bondong mendatangi mushalla itu meski mereka sudah tahu siapa yang melakukannya…

Mbah Sadi, suaranya sudah dikenal dikampung itu, umurnya sudah mencapai kepala tujuh.

Warga dipenuhi pertanyaan, mengapa Mbah Sadi adzan pada jam sepuluh malam..?

Ketika warga sampai di pintu mushalla, Mbah Sadi baru selesai adzan dan mematikan sound system. “Mbah tahu gak, jam berapa sekarang..??” kata Pak RT.

“Adzan apa jam segini, Mbah..??” “Jangan-jangan Mbah sudah ikut aliran sesat,” sambar Roso dengan nada prihatin.

Sekarang banyak betul aliran macam-macam. “Ah, dasar Mbah Sadi sudah gila. “Kalau nggak gila, mana mungkin adzan jam segini..??”

“Kalian ini……,” jawab Mbah Sadi tenang. “Tadi, waktu saya adzan Isya, tidak seorang pun yang datang ke musholla. Sekarang saya adzan jam 10 malam, kalian malah berbondong-bondong ke mushalla. Satu kampung lagi…!!! Kalo gitu… SIAPA YANG GILA….???”

Wargapun pulang satu persatu tanpa protes lagi. Termasuk Pak RT yang kemudian menjauh perlahan-lahan, tak berani melihat wajah Mbah Sadi.

Mawas diri…dipanggil dan diingatkan yang baik-baik terkadang kita tidak mau mendengarkan. Tetapi begitu ada kesempatan mem-bodoh2kan dan memarahi orang, kita menyempatkan diri..




Sumber : cerita warung kopi

Lagi Galau Dan Baper..? Inilah Nomor - Nomor Bebas Pulsa Yang Bisa Anda Hubungi...Silahkan Bagikan...!!!

Ketika anda sedang sedih, merasa banyak berdosa, mencari teman, mencari kedamaian, sedang dalam keadaan penuh tekanan, mencari cinta yang tak kunjung ditemukan? serta ketenangan dan seterusnya? Coba hubungi beberapa nomer darurat berikut ini...

Ya, maksud dari nomor tersebut adalah ayat Al Quran yang terkait dengan persoalan yang Anda hadapi. Sebagai contoh, saat Anda sedang bersedih, dapat buka Al Quran 2 : 25

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُم�' جَنَّاتٍ تَج�'رِي مِن�' تَح�'تِهَا ال�'أَن�'هَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِن�'هَا مِن�' ثَمَرَةٍ رِز�'قًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِق�'نَا مِن�' قَب�'لُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُم�' فِيهَا أَز�'وَاجٌ مُطَهَّرَةٌ ۖ وَهُم�' فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya : “ Serta sampaikanlah berita gembira pada mereka yang beriman serta berbuat baik, bahwa untuk mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : ”Inilah yang pernah diberikan pada kami dahulu”. Mereka di beri buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteriisteri yang suci serta mereka kekal di dalamnya”. (QS. 2 : 25)

Begitupun saat Anda sedang mencari kedamaian, bisa simak Al Quran 5 : 16 yang isinya.

يَه�'دِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِض�'وَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخ�'رِجُهُم�' مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذ�'نِهِ وَيَه�'دِيهِم�' إِلَىٰ صِرَاطٍ مُس�'تَقِيمٍ

Artinya : Dengan kitab itulah Allah menunjuki orangorang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, serta (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita pada cahaya yang jelas benderang dengan seizin-Nya, serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus (Q. S-5 : 16)

Demikian juga jika Anda merasa jemu kesusahan/kesulitan, bacalah Al Quran 94 : 5 yang berbunyi

فَإِنَّ مَعَ ال�'عُس�'رِ يُس�'رًا

Artinya : Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. 94 : 5)

Semoga ke-galauan dan kebaperan Anda bisa segera hilang....

Sebenarnya Berapa Sih Ukuran Minimal Nafkah Suami kepada Istri? Inilah Penjelasan Menurut Al-Qur`an Dan Sunnah

 
 
Tidak sedikit yang bertanya, sebenarnya berapakah ukuran minimal nafkah yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya? Mereka bertanya demikian karena beberapa sebab. Di antaranya sebabnya, mereka merasa telah mencukupi nafkah bagi keluarganya, tetapi istrinya merasa masih kurang dengan pemberian suami dan terus menuntut agar suaminya lebih keras lagi dalam bekerja sehingga dapat memperoleh lebih banyak uang.

Sebagian lainnya merasa bahwa nafkah yang diberikan kepada istrinya mungkin lebih sedikit bila dibandingkan dengan suami tetangganya, tetapi karena istri pandai mengelolanya, nafkah yang sedikit cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ukuran nafkah minimal antara seorang suami dengan suami yang lainnya sangat mungkin berbeda-beda. Intinya, ukuran nafkah minimal adalah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengenai kewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan suami, Allah Ta’ala berfirman,

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaaq [65]: 7).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi penjelasan:

“Engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan engkau jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah (tidak boleh memindahkan istrinya ke tempat lain, kemudian mendiamkannya di tempat tersebut).”[1]

Sesuai dengan kemampuan suami, maksudnya adalah suami diwajibkan memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan kelapangan rezeki yang Allah berikan kepadanya. Ukuran kemampuan itu bukanlah ukuran asal-asalan dalam mencari nafkah,

melainkan merupakan hasil yang paling maksimal dari usahanya yang maksimal pula. Sejauh mana kemampuan yang bisa diusahakan, sejauh itulah kewajibannya memberikan nafkah.
Sesuai dnegan kemampuan bukan berarti mengizinkan para suami untuk bersikap malas, tetapi justru menekankan agar suami bekerja dengan kemampuan terbaiknya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh sesuai kemampuan terbaiknya, suami akan mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, bahkan dapat pula mengalokasikan kelebihan rezekinya untuk ibadah lainnya, seperti shadaqah, membayar zakat, menunaikan haji dan sebagainya.

Jika dilihat berdasarkan kebutuhan fisik, setidaknya ada tiga hal umum yang wajib diupayakan oleh seorang suami. Ketiga kebutuhan itu adalah pangan, sandang dan papan. Menurut ukuran lahiriah, manusia tidak akan dapat hidup tanpa makan dan minum atau setidaknya tidak mampu beraktivitas dan beribadah dengan baik jika manusia mengalami kelaparan. Menurut ukuran agama, sosial, kesehatan dan norma-norma yang lain, manusia tidak mungkin hidup tanpa pakaian, sehingga wajib baginya berpakaian setiap hari. Adapun untuk kebutuhan perlindungan dari panas dan hujan, serta untuk ketenangan,

kenyamanan dan kehangatan, manusia memiliki tempat berlindung yang disebut rumah. Karena itu, ketiganya merupakan kebutuhan dasar yang harus diupayakan oleh suami sesuai dengan kemampuannya semaksimal mungkin.

Memang bila dijabarkan mungkin lebih banyak lagi kadar minimal sebuah nafkah yang perlu diupayakan oleh seorang suami. Tidak hanya kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Kadar nafkah yang paling ideal memang yang cukup. Namun, ketentuan cukup sangat bervariasi dan bersifat relatif.

Memang bila dijabarkan mungkin lebih banyak lagi kadar minimal sebuah nafkah yang perlu diupayakan oleh seorang suami. Tidak hanya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Kadar nafkah yang paling ideal memang yang cukup. Namun, ketentuan cukup sangat bervariasi dan bersifat relatif.

Islam tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dalam mengupayakan nafkah keluarga. Islam juga tidak menghendaki anggota keluarga untuk gemar menuntut. Kadar nafkah yang cukup itu bukan ditentukan oleh istri dan anak-anak, melainkan dari suami yang memberikan nafkah. Kecukupan disesuaikan dengan kemampuan dan kesungguhan suami dalam menafkahi keluarga. Adapun kemampuan dan kesungguhan akan dinilai dari seberapa maksimal usaha suami dalam mengupayakan nafkah bagi keluarganya.

Islam tidaklah menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat seseorang, akan tetapi yang dituntut darinya hanyalah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan rezekinya itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Az-Zubair bin Al-‘Awam dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya, kemudian dia menjualnya, lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu, lebih baik bagiinya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberi atau menolaknya.”

Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban. Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban.

Sumber : Kitab 24 Jam Amalan Agar Istri Making Sayang, Asadullah Al Faruq

Anak itu Butuh Ibu yang Sholehah, Bukan Ibu yang Hanya Sibuk Benerin Wajah

Para wanita jaman sekarang jika kamu lebih mementingkan dandan ketimbang menjaga anak, tidak mendidik anak, dan tidak memberikan bekal akidah dan akhlak Kamu Wajib ketahui beberapa hal ini

 

Jangan sampai karena suka berdandan dan akhirnya menyenangkan lelaki lain akhirnya ada lelaki yang lebih menarik dari suami, lalu suami ditinggalkan suruh mengurus anak, jadi ibu sekaligus ayah padahal anak lebih membutuhkan kasih sayang ibu.

Wanita jaman sekarang kadang lebih sibuk menata riasan wajah dari pada menata hati, ia lebih sibuk mantangin medsos hanya untuk update barang branded daripada berlama-lama belajar suatu hal yang menambah wawasan.

Mereka tidak sadar bahwa tugasnya semakin dewasa sangatlah berat, mungkin mereka fikir mumpung masih muda jadi banyakin senang-senang.

Padahal, justru ketika masih mudalah harus banyak membekali diri dengan ilmu dan hal-hal yang bermanfaat, daripada hanya sibuk hura-hura dengan teman-teman sebaya.

Kamu harus sadar, bahwa sebentar lagi kamu akan sampai dimana bibir mungil itu akan memanggilmu “Ibu”, dan pastinya dia tidak butuh barang brandedmu, dia tidak butuh beragam make-up mahalmu, dan dia tidak butuh wajah cantikmu.

Tapi yang dia butuhkan adalah kasih sayangmu, ajaran akhlaq mulia darimu, dan bekal ilmu yang akan menjadikannya shaleh dan shalehah dihadapan Allah.

Wanita, Lebih Sibuklah Kamu Memperbaiki Diri, Memperbaiki Akhlaq, Dan Membekali Diri Dengan Ilmu
Jadi, wanita lebih sibuklah kamu memperbaiki diri, memperbaiki akhlaq, dan membekali diri dengan ilmu. Sebab, saat kamu menjadi seorang ibu, maka tentu setiap yang kamu lakukan akan digugus dan ditiru.

Mengapa? Karena kamu adalah guru pertama yang akan mengajarkan padanya apa arti kehidupan yang sesungguhnya

Anakmu Butuh Ibu Yang Tangguh Dan Menginspirasi, Jadi Jangan Hanya Fokus Membenahi Diri Dengan Make-Up Yang Warna-Warni
Anakmu kelak butuh ibu yang tangguh dan menginspirasi, jadi jangan hanya fokus untuk terus menerus membenahi diri hanya dengan make-up yang berwarna-warni.

Karena semua itu tidak ada gunanya, bila kau tak pernah ajarkan kebaikan padanya.

Kamu Adalah Madrasah Pertama Bagi Anakmu, Lantas Bila Kau Tak Tahu Cara Memperbaiki Diri Bagaimana Kelak Kau Membekalinya Dengan Akhlaq Mulia?
Ingat, kamu adalah madrasah pertama bagi anak-anakmu, laatas bila kau tidak tahu caranya memperbaiki diri dengan baik dan benar bagaimana kelak kamu akan membekali dirinya dengan kebaikan, akhlaq mulia, ilmu, dan suatu yang bermanfaat lainnya?

Sadarlah, semua itu adalah tanggung jawabmu sebagai ibu yang harus kamu penuhi dengan bijak.

Tanggung Jawabmu Adalah Membentuknya Menjadi Generasi Yang Shaleh Dan Shalehah. Maka, Didiklah Dirimu Menjadi Shalehah Terlebih Dulu
Karena tanggung jawabmu adalah memang harus membentuknya menjadi generasi yang shaleh dan shalehah.

Maka, didiklah dirimu menjadi shalehah terlebih dulu, sebelum kamu membentuknya menjadi insan yang baik dan benar menjalani aturan Allah dalam kehidupan ini.

Jadi, Jangan Pergunakan Waktumu Hanya Melulu Benerin Wajah, Karena Anakmu Tidak Butuh Ibu Yang Cantik. Tapi Ia Butuh Ibu Yang Selalu Tangguh Dengan Kebaikan
Kamu harus berpikir tangkas sejak masih muda, jangan pergunakan waktumu hanya untuk berhura-hura, kesana-kemari datengin salon, dan hanya melulu benerin wajah, karena anakmu tidak butuh ibu yang cantik.

Tapi ia butuh ibu yang selalu tangguh dengan kebaikan, karena hanya kebaikanlah yang akan menghantarkannya pada kebaikan-kebaikan Allah.

Sumber : wajibbaca.com

Tolong Di Bagikan Yah !! Berikut Cara Melunasi Hutang Keluarga yang Telah Meninggal.

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Saya mau bertanya, jika seseorang meninggal dunia dan telah meninggalkan urusan utang piutang yang terjadi pada masa lalu, apakah ahli warisnya melunasi hutang itu dengan harga masa lalu atau pada saat ini, karena harga masa lalu dengan masa kini jelas berbeda.

 

Misalnya dulu 30 tahun yang lalu si mayit pernah berhutang Rp. 1000 tapi sekarang ahli warisnya melunasi sama dengan nominalnya dulu saat berhutang atau seharga pada masa kini? Atau kalau barang harga dulu atau harga sekarang? Maturnuwun [Ibadul Ghofur]

Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pada prinsipnya hutang haruslah dibayar. Sekalipun hutang sudah lama, ia tetap harus dibayar. Sedang jika ada orang yang meninggal dunia dan tidak memiliki tirkah maka tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk membayar hutang tersebut.

Namun jika ahli waris bersedia membayar atau menanggung hutannya maka itu sangat dianjurkan karena termasuk perbuatan terpuji.

Dalam soal hutang, jika si penghutang ternyata belum bisa membayar hutangnya pada waktu yang telah ditentukan maka ia sebaiknya bicara kepada pihak yang menghutangi. Dan pihak yang menghutangi hendaknya memberikan tenggang waktu kepada si penghutang.

Namun persoalannya ternyata tidak cukup sampai disini, sebab hutang yang harus dilunasi ternyata sudah sangat lama. Misalnya, hutang uang sebesar Rp. 1000, sebagaimana dicontohkan di atas sudah tigapuluh tahun, sedang nilai Rp. 1000 tigapuluh tahun bisa jadi sama dengan Rp. 100.000 sekarang mengingat adanya fluktuasi dan perubahan nilai. Dalam kasus ini apakah hutang yang harus dibayar sesuai dengan nominalnya yaitu Rp. 1.000 ataukah mengikuti nilainya pada saat hutang itu dibayar.

Prinsip dasar dalam membayar hutang itu sesuai nominal yang dihutang bukan dengan nilainya. Ini artinya orang yang berhutang harus membayar sesuai dengan jumlah hutannya, bukan dengan nilainya.

Jadi, jika ia berhutang Rp. 1000 maka ia harus mengembalikan Rp. 1000 meskipun nilai Rp. 1000 pada saat berhutang berbeda pada saat membayarnya. Hal ini didasarkan kepada penjelasan dibawah ini:


وَيَجِبُ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ رَدُّ الْمِثْلِ فِيمَا لَهُ مِثْلٌ لِأَنَّ مُقْتَضَى الْقَرْضِ رَدُّ الْمِثْلِ
“Wajib atas orang yang berhutang untuk mengembalikan hutannya dengan yang sepadan (al-mitsl) karena hutang menuntut pengembalian yang sepadan” (Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 2, h. 304)

Pandangan di atas juga diteguhakan oleh Majma` al-Fiqh al-Islami pada pertemuan ke-5 di Kuwait bulan Jumada al-Ula 1409 H/Desember 1988 M.

اَلْعِبْرَةُ فِي وَفَاءِ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ بِعُمْلَةِ مَا هِيَ بِالْمِثْلِ وَلَيْسَ بِالْقِيمَةِ، لِأَنَّ الدُّيُونَ تُقْضَى بِأَمْثَالِهَا، فَلَا يَجُوزُ رَبْطُ الدُّيُونِ الثَّابِتَةِ فِي الذِّمَّةِ، أيًّا كَانَ مَصْدَرُهَا، بِمُسْتَوَى الأَسْعَارِ

“Yang menjadi patokan dalam membayar hutang yang telah ditetapkan dengan uang apa saja adalah membayar dengan yang sepadan (nominalnya) bukan dengan nilainya (al-qimah). Karena hutang mengharuskan dibayar dengan yang sepadannya. Maka tidak boleh mengaitkan hutang yang ada dalam tanggungan, apapun sumbernya, dengan mengikuti tingkat harga (nilainya)”. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, h. 53)

Penjelasan singkat ini jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka ahli waris yang menanggung hutang si mayyit hanya membayar nominal hutangnya saja atau mitsl bukan nilainya atau qimah.

Jadi, jika si mayyit hutangnya Rp. 1000 maka yang harus dibayar oleh pihak yang menanggung yang dalam hal ini adalah ahli waris, adalah sesuai nominalnya yaitu Rp. 1000.

Namun masalahnya uang 1.000 saat ini mungkin tidak bernilai, berbeda dengan tigapuluh tahun yang lalu pada saat transaksi hutang itu terjadi. Dalam hal ini ada pendapat lain mengatakan:

إذَا غَلَتْ الْفُلُوسُ قَبْلَ الْقَبْضِ أَوْ رَخُصَتْ .قَالَ : أَبُو يُوسُفَ ، قَوْلِي وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ وَلَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا ، ثُمَّ رَجَعَ أَبُو يُوسُفَ وَقَالَ : عَلَيْهِ قِيمَتُهَا مِنْ الدَّرَاهِمِ ، يَوْمَ وَقَعَ الْبَيْعُ وَيَوْمَ وَقَعَ الْقَبْضُ

“Ketika nilai uang kertas menguat atau melemah sebelum jatuhnya masa pembayaran hutang. Dalam hal Abu Yusuf berkata, pendapatku dan dan pendapat Imam Abu Hanifah adalah sama, ia hanya membayar nominal uang pada saat pembayarannya. Kemudian Abu Yusuf menarik pendapatnya, dan mengatakan, ia wajib membayar nilainya uang tersebut senilai dirham pada hari terjadi transaksi jual-beli dan pada hari pembayaran hutangnya” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 4, h. 534)

Saran kami, penyelesaian bisa dilakukan dengan prinsip musyawarah atau sulh atau dalam bahasa ekonominya disebut arbitrase. Besaran hutang yang harus dibayar bisa disepakati dengan pihak yang menghutangi.

Prinsipnya, para ulama fikih umumnya berpendapat bahwa hutang uang dibayar sesuai nominal tempo dulu. Namun pihak ahli waris lebih baik membayarkan hutang itu dengan nominal yang pantas sesuai dengan perkiraan perubahan nilai uang saat ini.

Sebaliknya, jika hutang itu dalam bentuk barang, bisa dipastikan membayarnya pun juga dengan barang. Namun terkait perubahan nilai barang antara dulu dengan sekarang lebih baik dibicarakan antara kedua belah pihak.

Sekali lagi lebih baik ditempuh dengan jalan musyawarah, dan jangan lupa minta diikhlaskan kepada pihak yang menghutangi atau keluarganya agar si mayyit tenang dan bebas tanggungan di akhirat sana.

Tidak lupa kami juga mengingatkan agar kita buru-buru menyelesaikan akad hutang kita jika sudah mampu untuk membayar agar tidak menjadi persoalan dan beban ahli waris di masa yang akan datang.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

Sumber: nu.or.id